Kendalikan Berat Badan dengan Herbalife

Herbalife bukan obat, tapi makanan sehat. Disebut nutrisi sel, karena konsepnya memberi nutrisi bagi sel-sel tubuh secara efektif.
Herbalife lebih dikenal sebagai makanan sehat pengelola berat badan. Naik/turun berat badan atau menjaga berat badan. Kenapa berat badan? Ternyata sebagian besar penyakit erat kaitannya dengan kegagalan pengelolaan berat badan.

Banyak kasus kegemukan (obesitas) yang harus disikapi dengan baik. Karena sebagian besar penyakit erat kaitannya dengan obesitas. Beberapa penyakit erat kaitannya dengan obesitas.

Dan obesitas terjadi karena pola makan yang salah. Kami menawarkan makanan yang sehat yang efektif diserap oleh sel-sel tubuh dan efektif untuk turun berat badan. Ayo, mulai hidup sehat. Bagaimana caranya? Hubungi saya:

Choirul Asyhar
, HERBALIFE, Konsultan Nutrisi, Independent Member | D1610892
Call/SMS/WA 0815 1739 2450
Pin BB 554B0B15

Rabu, 18 Desember 2013

Apakah Anda Merasa Sehat dengan Berat Badan Anda Saat Ini?

Banyak orang merasa sehat dengan berat badannya saat ini. Yang langsing merasa sehat karena tidak ada lemak menumpuk di tubuhnya. Langsing itu sehat, demikian banyak iklan berseliweran memberikan pesan. Demikian pula dengan yang gemuk, baik yang overweight maupun yang obesitas.

"Biar gemuk asal sehat." kilahnya.
"Yang penting sehat." jawabnya kalau ada teman yang mengkritik badan gembulnya. Padahal WHO menyatakan bahwa kegemukan itu sendiri adalah penyakit. Karena dibalik tubuh yang kegemukan tersimpan berbagai macam penyakit. Macam mana bisa bilang "Biar gendut, asal sehat."?

Untuk menguji apakah dengan berat badan saat ini kita sudah sehat apa belum, ada parameter yang bisa menjawabnya. Namanya Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh. Dengan mengetahui BMI kita maka kita bisa dapat early warning apakah kita sehat atau tidak dengan berat badan yang kita miliki saat ini.

BMI dapat dihitung dengan membandingkan berat badan Anda dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan Anda (dalam meter). Misalnya berat badan Anda 90 kg, dan tinggi badan Anda 1.70 meter, maka BMI Anda adalah = 90/(1.7*1.7) = 31.14. Dengan indeks sebesar ini maka Anda termasuk obesitas.

Interpretasi BMI adalah sebagai berikut:

< 18.5             : Berat badan kurang
18.5 - 25         : Berat badan sehat
25 - 30            : Berat badan berlebih, gemuk
> 30+              : Berat baan sangat berlebihan, obesitas, resiko tinggi

Berapa BMI Anda?
Silakan hitung dengan rumus di atas atau klik INI, biar lebih mudah.

Selamat mencoba.
Salam Sehat Hebatlife.
Choirul, 0815 1739 2450 

Senin, 16 Desember 2013

Hidayah Kesehatan

Mengajak orang gendut jadi langsing itu susah-sudah gampang. Bukan semata-mata masalah biaya, tapi ini menyangkut pola hidup. Pola makan.

Ini yang saya alami waktu jaga stand di Pesta Wirausaha yang diselenggarakan TDA Bekasi di Bekasi Square, Sabtu-Ahad tanggal 14-15 Desember 2013 ini.

Orang gendut ketika ditawarin jadi langsing reaksinya macam-macam. Kalau dikatagorisasi ada tiga macam reaksi:

1. Mau - mau - mau
Orang yang demikian merasakan benar betapa tersiksanya bawa-bawa lemak tubuh dan lemak perut kesana-kemari. Belum lagi keluhan-keluhan kesehatan lain akibat kegemukan, karena semua makanan "enak" dimasukkan ke tubuhnya :D). Dia sadar betapa sehatnya orang-orang langsing. Dia juga menyaksikan betapa cantik dan ganteng serta lincah dan energiknya orang-orang yang langsing. Why-nya kuat maka dia mudah mencapai target sehat dan langsingnya.

2. Mau Tapi Ogah
Dia sadar kegemukan dan ini mengganggu aktifitasnya, tapi ogah langsing karena sulit menahan lapar mata. Sulit menahan diri ketika melihata makanan enak.

"Wah, kalau malam dingin dan laper, pengennya makan yang enak-enak."
"Bosanlah kalau makan shake muluu...." demikian kata seorang yang berhasil saya rayu untuk mengikuti cek kesehatan tubuh GRATIS.

Dia mau langsing tapi masih berat karena tidak kuat menahan nafsu makannya yang tinggi. Jadi ogah diatur dengan pola makan baru. Akibatnya dia beli herbalife tapi cuma jadi pajangan di rumah. Hehehe....

3. Ogah - Ogah - Ogah
Nah, ini tipe orang yang susah berubah. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam saya yakin dia mau langsing. Tapi dia gengsi mengucapkannya. Uangnya banyak tapi dia gak mau diatur-atur.

"Uang-uangku sendiri, terserah aku mau makan apa aja." Barang kali ini yang ada di dalam hatinya.

Saya menemukan orang seperti ini kemarin. Taksiran saya berat badannya lebih dari 120 kg. Ketika saya tawarkan cek analisa tubuh gratis, dia menjawab, "Gak, ah... capek diatur-atur muluuu...." katanya sambil ngeloyor menghindar.

Mengajak orang seperti ini seperti mengajak perokok berhenti merokok. Tahu itu tak sehat tapi sulit menghindari merokok. Rokok memang banyak mengandung zat adiktif, sehingga menimbulkan orang ketagihan. Apakah makanan juga menimbulkan adiksi?

Rasulullah SAW mengatakan, kenapa beliau dan sahabat-sahabatnya sehat sehingga seorang tabib di Madinah selama dua tahun bekerja tidak mendapatkan pasien. Kata beliau, "kami adalah kaum yang makan ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang."

Karena gak ada fotonya, saya bayangkan Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang berpostur tubuh ideal dan berbadan sehat karena mereka tidak obese. Mereka tidak asal makan apapun yang enak-enak. Tapi memiliki pola makan yg benar.

Anda setuju...?
Salam Sehat Hebatlife
Choirul 16/12/2013
 
* Apa indahnya gendut seperti ini.....? Yuk, perbaiki pola makan Anda.


Team Nutrisi sehat siap mengubah lemak tubuh anda menjadi kesehatan yg menakjubkan. Insya Allah


Jumat, 06 Desember 2013

Dokter Seharusnya "Pelit" Berikan Obat ke Anak

Tulisan ini mengingatkan kita bahwa sehat itu bisa tanpa obat. Makanan dan minuman yg sehat juga air putih cocok untuk memulihkan penyakit kita. Contoh makanan sehat adalah herbalife.

Jumat 11 Rabiulakhir 1434 / 22 Februari 2013 14:50
sick kid 268x300 Alasan Dokter Negara Maju Pelit Memberikan Obat ke AnakBELUM sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dr. Knol.
“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection,” kata dokter tua itu.
“Ha? Just wait and see?” batinku meradang.

Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain.
“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”
Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter di sini pelit obat. Karena itu, aku membawa obat dari Indonesia.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter. Dia tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,
“Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau!

Setibanya di rumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
“Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya. Mau 37, 38 apa 39 derajat, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!”

Sewaktu praktik menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi secuil-secuil ilmu kudapat. Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu habis. Tibalah saat pulang ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama. Banyak negara dan kota di Eropa belum disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng, kami mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, Lala, putri pertamaku sakit. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia. Batuknya tak hilang dan ingusnya masih meler. Lima hari kemudian, Lala kubawa ke huisart.
“Just drink a lot,” katanya ringan.
“Apa nggak perlu dikasih antibiotik, Dok?” tanyaku tak puas.
“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.
Lalu ngapain dong aku ke dokter,tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
“Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak.”
Ternyata isi obat Thyme itu hanya ekstrak daun thyme dan madu.
Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia.

Putriku sembuh. Sebulan kemudian sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.
“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya?”
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”
“Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,”
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”
“Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.

Aku pulang dengan perasaan malu. Barangkali si dokter benar, aku selama ini kurang belajar.
Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, aku berinteraksi dengan internet. Aku menemukan artikel Prof. Iwan Darmansjah, ahli obat-obatan Fakultas Kedokteran UI.
“Batuk – pilek beserta demam yang terjadi 6 – 12 bulan masih wajar. Observasi menunjukkan kunjungan ke dokter terjadi 2 – 3 minggu selama bertahun-tahun.”
“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan penanganannya, Pertama, obat diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Duuh…kemana saja aku selama ini. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho!.
Di Belanda ‘dipaksa’ tak pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak, kondisi anakku jauh lebih baik. Mereka jarang sakit.

Aku tercenung mengingat ‘pengobatan rasional’. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yg kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke dokter, sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Aku baru mengetahui ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga banyak negara termasuk Amerika Serikat, dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen tersedia di apotek dan boleh digunakan usia anak diatas 6 bulan, di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama anak demam.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan. Karena kekurangan dan ketidakmampuan penyakit anak sehari-hari, orang desa relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, cukup berduit, melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Aku sadar. Telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ konsultasi, memastikan diagnosa penyakit dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?

Sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan. []
Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum, http://ibuhamil.com/ (04)

Selasa, 03 Desember 2013

Obesitas Bisa Ganggu Pendengran


Obesitas

REPUBLIKA.CO.ID, Gangguan pendengaran ternyata tidak hanya terjadi karena proses penuaan. Obesitas pun turut menjadi pemicunya, menurut sebuah penelitian dalam American Journal Medicine.

“Kita sering berpikir gangguan pendengaran sebagai bagian tak terhindarkan dari proses penuaan, tapi temuan ini memberikan bukti bahwa faktor risiko yang berpotensi dapat diubah, seperti menjaga berat badan yang sehat dan tetap aktif secara fisik dapat mencegah gangguan pendengaran atau menunda perkembangannya,” kata peneliti Sharon Curhan, M.D., Sc.M., demikian dilansir dari Huffington Post.

Penelitian yang dilakukan Brigham and Women's Hospital ini melibatkan 68.000 wanita yang merupakan bagian dari Nurses Health Study II, dengan melihat aktivitas fisik, indeks massa tubuh, lingkar pinggang dan riwayat gangguan pendengaran dari tahun 1989 dan 2009.
Hasil penelitian menunjukkan, wanita yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 30 hingga 34 (indikasi obesitas) memiliki risiko 17 persen lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran, dibandingkan dengan wanita yang memiliki IMT lebih rendah dari 25 (berat badan normal).
 Sedangkan IMT 40 (obesitas) atau lebih memiliki risiko 25 persen lebih tinggi gangguan pendengaran.

Selain itu, hasil yang dilihat dari aspek lingkar pinggang menunjukkan, semakin besar lingkar pinggang wanita maka semakin besar berisiko untuk mengalami gangguan pendengaran.
Untuk mengatasi permasalahan ini, tampaknya olahraga bisa menjadi solusinya. Wanita yang paling aktif secara fisik dalam penelitian ini memiliki risiko 17 persen lebih rendah gangguan pendengaran dibanding wanita yang kurang aktif secara fisik.